KUNJUNGAN KE SYEKH KHOLIL DAN AER MATA EBUH

          Tepat pada tanggal 8 februari 2016 , Himpunan Mahasiswa Bangkalan (HIMABA). Melaksanakan kegiatan explore and trip dan juga menjadi hari dimana proker ini pertama kali dilaksanakan. tujuan kami tidak lain hanya untuk mengeksplor tempat-tempat bersejarah dan wisata yang ada di bangkalan. pemikiran ini merujuk pada kenyataan bahwa pemuda-pemuda bangkalan kurang respek atau perhatian terhadap tempat sejarah dan wisata alam yang ada di bangkalan, mereka justru lebih memilih mengeksplor tempat-tempat di luar madura khususnya bangkalan.kami juga mengadakan lomba membuat artikel tentang tempat wisata kali ini dan tentunya ada hadiah menarik dari kami. awal terlaksananya proker ini yaitu ke tiga tempat antara lain ; Wisata religi Syekh Kholil, wisata religi Aer Mata Ebu, dan Bukit Geger. tempat pertama yang kami explore hari ini  adalah Wisata religi Syekh Kholil.  sekaligus kami memanjatkan doa agar explore and trip hari ini lancar.



          tempat wisata religi dimana beliau, Syaichona Kholil terakhir kali disemayamkan seolah sudah menjadi kunjungan wajib bagi warga bangkalan. bahkan juga ada pengunjung dari luar madura seperti, jawa barat, kalimantan, bahkan malaysia dan brunei. sejarah tentang syekh kholil yang kami dapat adalah diceritakan pada zaman dahulu Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil.
KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.
Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.
Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.
berikut gambar makam syaichona kholil 



selanjutnya kita ke wisata religi aer mata ebu yang terletak di kecamatan Arosbaya. salah satu tempat wisata religi yang juga banyak dikunjungi para peziarah.


         




diceritakan oleh juru kunci bahwa Ratu Ibu atau dalam bahasa Madura di kenal dengan Rato Ebhu adalah Syarifah Ambami istri dari Raden Praseno seorang penguasa Madura yang memiliki gelar Cakraningrat I. Cerita sejarah tangisan Ratu ibu ini sangat terkenal dan mata air Ratu Ibu yang begitu keramat. Di komplek pemakaman yang cukup luas ini juga merupakan komplek pemakaman keluarga tujuh turunan. Tangisan Ratu Ibu yang tidak pernah mengering sehingga menjadi sumber mata air di pesarean ini berawal dari cerita sejarah yang menyedikan. Alkisah di ceritakan Meskipun sebagai Raja Madura kala itu, Cakraningrat I rupanya lebih sering berada dan menghabiskan waktunya di Mataram. Ternyata keadaan yang demikian, membuat Syarifah Ambami merasa sangat sedih. Siang malam beliau menangis meratapi dirinya.

Akhirnya beliau pergi demi melaksanakan tekadnya untuk melakukan pertapaan di sebuah bukit yang terletak di desa Buduran Arosbaya. Dalam tapanya, beliau memohon dan berdoa, semoga keturunannya kelak sampai pada tujuh turunan, dapat ditakdirkan untuk menjadi penguasa pemerintahan di Madura. Hingga dalam pertapaan beliau bertemu Nabi Hidir yang memberi kabar bahwa semua permohonan dan doanya akan di kabulkan. Mengetahui hal itu Syarifah Ambami pun sangat merasa senang dan kembali pulang. 

Beberapa waktu kemudian sepulangnya Syarifah Ambami bertapa, Raden Praseno atau Cakraningrat I suami beliau kembali dari Mataram. Lalu Syarifah Ambami menceritakan tentang semua pengalamannya semenjak suaminya berada di Mataram, bahwa beliau menjalankan pertapaan dan beliau menceritakan pula hasil pertapaaannya kepada suaminya Cakraningrat I.

Setelah selesai mendengarkan cerita istrinya itu. Cakraningrat I, ternyata tidak merasa senang, akan tetapi beliau merasa kecewa kepada istrinya, Cakraningrat I marah besar, mengapa istrinya hanya berdoa meminta tujuh turunan saja.

Mengetahui kekecewaan yang terjadi pada diri suaminya, Syarifah Ambami merasa bersalah. Beliau menangis siang dan malam tanpa ada hentinya karena kesedihannya yang begitu mendalam yang beliau rasakan saat itu. Air mata dari tangisan beliau sepanjang hari itu kemudian membanjiri tempat setempat hingga menjadi sebuah sumber mata air sampai saat ini.

Sumber mata air dari tangisan Ratu ibu yang keramat itu di percaya oleh masyarakat sekitar mampu menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Sehingga banyak sekali orang – orang yang datang untuk pergi berziarah dan mengambil air dari sumber air mata ibu. Sumber mata air Ratu Ibu itu tidak pernah kering dari dulu hingga sekarang.

kami pun akhirnya setuju untuk langsung ke sumber mata air tersebut. dalam perjalanan kesana pengunjung juga dapat melihat para pedagang parfum dan jamu tradisional khas madura.










Share this

Related Posts

Previous
Next Post »