Tanggal 8 Februari 2016 , keluarga Himpunan Mahasiswa Bangkan (HIMABA) melaksanakan kegiatan ngetrip bareng ke bukit geger tepatnya di Kec,Geger Bangkalan. pesona alam yang indah di sana cukup menarik perhatian kami untuk mengeksplor apa saja yang ada di sana. bukit geger sendiri terletak 40 km dari arah bangkalan, bukit ini juga kaya akan sejarah yang unik dan menarik untuk di eksplor.
sampai diatas kami disuguhkan ratusan pohon mahoni yang masih tampak kealamiannya dan juga dikelilingi kera-kera yang juga berhabitat dibukit ini.
Awal sampai di tempat kami harus mendaki tangga pendakian untuk sampai ke atas puncak bukit geger ini
sampai diatas kami disuguhkan ratusan pohon mahoni yang masih tampak kealamiannya dan juga dikelilingi kera-kera yang juga berhabitat dibukit ini.
kemudian kita menuju tempat di bukit ini yang view nya bagus, hamparan tanah bangkalan dapat dilihat jelas dari sini. seolah tak mau melewatkannya keluarga himaba pun melakukan dokumentasi bersama.
informasi yang kami dapat bahwa Konon ceritanya, pada zaman purbakala di kaki gunung Semeru, berdiri kerajaan Medangkemulan yang dipimpin rajanya bernama Sang Hyang Tunggal. Di dalam keraton yang disebut Giling Wesi, Sang Hyang Tunggal hidup bersama permaisuri dan putrinya bernama Raden Ayu Ratna Doro Gung. Dibawah pemerintahan raja yang arif dan bijaksana itu, Medangkemulan merupakan kerajaan yang makmur dan sentosa.
Namun ketentraman sang raja bersama rakyatnya jadi guncang , ketika terjadi peristiwa yang menimbulkan aib besar bagi kerajaan. Peristiwa itu berawal ketika sang Putri Doro Gung dalam tidurnya bermimpi kemasukan “rembulan” dari mulutnya. Aneh, beberapa bulan kemudian sang putrid hamil secara gaib. Inilah sebabnya Sang Hyang Tunggal jadi murka.
Beberapa kali Sang Hyang Tunggal menanyakan, siapa lelaki yang membuat sang putrid hamil. Namun dengan terisak Doro Gung yang cantik jelita itu tak mampu menjelaskan, karena ia tak tahu awal mulanya mengapa bisa hamil.
Ketika Sang Putri menjelaskan bahwa dia hamil secara gaib, setelah bermimpi menelan rembulan Sang Raja bertambah marah. Sang Putri dianggap bukan saja mendustai raja, tetapi juga seluruh rakyat Medangkemulan.
Akhirnya raja bertindak tegas, dipanggilnya patih Panggulang dan dititahkan untuk menghilangkan nyawa Sang Putri di hutan. Dipesannya agar Panggulang tak menghadap raja, kecuali membawa kepala Sang Putri. Dengan berat hati, serta bercucuran air mata, Patih Pranggulang menjalankan perintah, membawa Sang Putri ke hutan belantara.
Alkisah, ketika sudah berjalan jauh di dalam hutan, Sang Putri duduk bersimpuh, merasa tiba waktunya menerima nasib yang paling buruk. “ Paman patih, silahkan laksanakan titah paduka ayahanda,” kata Doro Gung.
Mendengar ucapan Sang Putri dengan bibir yang bergetar, Patih Pranggulang berlinang air mata. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa karena takut pada sang Raja. Ia pun menghunus pedang, dan tiga kali pedang itu ditebaskan ke leher sang Putri yang pasrah. Tetapi apa yang terjadi. Setiap pedang itu menyentuh leher sang Putri, selalu terpental ke tanah.
Menghadapi kejadian aneh tersebut Patih Pranggulang termenung. Dia mengambi kesimpulan bahwa hamilnya sang putri, memang bukan kesalahanya melainkan karena ada hal-hal yang luar biasa. Saat termenung itulah, Patih Pranggulang tiba-tiba mendengar suara bayi secara gaib dari rahim Sang Putri.
Hai Pranggulang tak usah kau ulangi perbuatanmu. Kamu telah melaksanakan titah rajamu dengan baik. Tetapi Tuhan belum mengizinkan aku dan ibuku mati sekarang. Kini tolonglah, buatkan rakit demikian seruan bayi yang didengar Patih Pranggulang.
Seketika itu Patih Prangguling menebangi pohon di hutan dan membuat rakit. Setelah rakitnya siap, datanglah Sang Putri ke tepi laut, sambil berpesan, jika butuh pertolongan menjejakkan kakinya ke tanah tiga kali, dan seketika itu Patih Pranggulang akan segera datang.
Setelah usai berpesan, Patih Pranggulang mengganti pakaian kebesaranya sebagai Patih dengan pakaian poleng (kain tenun kasar). Ini dilakukan Patih Pranggulang, karena ia sadar tak mungkin kembali menghadap raja. Dan sejak itu, Patih Pranggulang mengubah namanya menjadi Ki Poleng.
Setelah persiapan dan bekal seperlunya dianggap cukup, Sang Putri naik ke atas rakit. Sesaat kemudian Ki Poleng menendang rakit itu menuju "Madu-Oro" (Pojok di ara-ara yang artinya pojok menuju kearah laut luas). Konon dari kata Madu-Oro inilah timbul kata Madura yang kemudian dijadikan nama Madura.
Selanjutnya, setelah di ombang-ambingkan ombak besar, Doro Gung terdampar di sebuah daratan kecil yang tersembul di permukaan laut, tepat di bawah pohon "Ploso" (semacam pohon jati). Daratan kecil inilah sekarang dikenal sebagai Gunung Geger terletak sekitar 40 km arah timur laut kota Bangkalan.
Konon, ketika Sang Putri mendarat di daratan ini, jika air pasang daratan ini sempit sekali, tapi jika air surut areanya bertambah luas. Itulah sebabnya daratan itu diberi nama "Lemah Doro" (tanah yang tak sesungguhnya) karena sering berubah luasnya. Kata Lemah Doro ini dijadikan versi keduaasal kata Madura.
Beberap bulan setelah Doro Gung yang hami itu terdampar di Gunung Geger, tibalah saatnya untuk melahirkan. Saat itulah, Doro Gung menjejakkan kaki tiga kali ke tanah. Kemudian Ki Poleng muncu secara gaib di hadapan Sang Putri. Atas bantuan Ki Poleng Sang Putri melahirkan seorang bayi laki-laki yang rupawan. Karena kelahiranya tepat di tepi pantai, Oleh Ki Poleng bayi lelaki itu diberi nama Raden Segoro (Laut). Jadilah Raden Segoro orang pertama yang lahir di Pulau Madura.
Sejak kelahiran Raden Segoro, di sekitar Gunung Geger selalu ada cahaya semacam rembulan memancar ke angkasa. Cahaya ini, seringkali dilihat oleh pelaut yang berlayar di sekitar perairan Gunung Geger. Maka menurut kisah, akhirnya banyak pelaut yang singgah ke Gunung Geger, kemudian menghambakan diri pada Raden Segoro dan ibunya, Doro Gung. Mereka inilah akhirnya dianggap sebagai penduduk pertama di Madura.(pulaumadura.com).